Saturday, July 29, 2017

12 Macam Seni Tari Tradisional Banyuwangi

Tags


Tari Gandrung

Gandrung adalah seni tari khas masyarakat Using yang sekarang menjadi
maskot Kabupaten Banyuwangi. Seorang penari gandrung identik dengan perempuan
yang bergulu menjangan berkaki kijang, yang berarti lincah bagai rusa dan memiliki
suara yang merdu. Struktur pementasan gandrung meliputi jejer, paju, dan seblangseblang.
Musik iringan gending jejer yang semula rancak berganti menjadi lembut
dan penari melantunkan gending Padha Nonton sebagai lagu wajib pembuka.

Gandrung merupakan salah satu jenis kesenian tradisional Using yang
keberadaannya tetap diminati oleh masyarakat. Salah satu keunikan seni gandrung
ialah terpadunya gerakan tari yang dinamis dengan suara instrumen yang beragam
dan bersuara rancak bersahut-sahutan.

Dalam pertunjukan gandrung seorang penari
gandrung seringkali melantunkan pantun-pantun Using baik yang terdiri dari dua
larik maupun empat larik. Pantun-pantun tersebut ada yang bernuansa agama dan ada
pula yang bernuansa asmara.


Tari Seblang


Seni tari seblang merupakan tarian sakral yang berkaitan dengan upacara
magis untuk mendatangkan roh halus, roh leluhur atau Hyang. Jenis seni tari yang
hanya terdapat di Desa Olehsari dan Bakungan, Kecamatan Galagah, Kabupaten
Banyuwangi ini diperkirakan sebagai peninggalan kebudayaan pra-Hindu yang
sampai sekarang masih hidup dan tetap dilestarikan.

Tari seblang adalah tarian yang diiringi gamelan dan dilakukan oleh seseorang dalam keadaan kejiman atau tidak
sadarkan diri (intrance) karena kerasukan atau keserupan roh halus, roh leluhur, atau
Hyang. Tarian ini merupakan sarana pemujaan terhadap roh halus, baik roh yang
bersifat baik maupun yang tidak baik. Jadi,

gerakan-gerakan yang ada pada tari
seblang merupakan gerakan tarian roh yang merasuk ke wadah penari. Ciri-ciri
gerakannya yiatu dilakukan dengan ritme yang monoton.


Pementasan seni tari ini hanya dilaksanakan sekali dalam setahun, yaitu
setiap tanggal 1 Suro bertepatan dengan dilaksanakannya upacara bersih desa atau
selamatan desa. Bila pementasan tari seblang tidak diadakan diramalkan akan
menimbulkan malapetaka bagi masyarakat desa Olehsari.

Atas petunjuk roh halus,
pada saat ini pementasan tari seblang dilaksanakan pada setiap Hari Raya Syawal,
yaitu tiga atau empat hari sesudahnya. Pementasan tari Seblang dimulai pukul 13.00
sampai dengan pukul 16.00 selama satu minggu.




Tari Barong


Kesenian barong merupakan teater rakyat yang memadukan unsur tari, musik,
dan lagu serta cerita yang telah baku dan turun-temurun. Pada awalnya, seni ini
merupakan seni pertunjukan yang bersifat sakral dan pementasannya dilaksanakan
hanya pada saat-saat tertentu,

misalnya pada saat upacara bersih desa yang
diselenggarakan pada minggu pertama bulan Haji (Besar). Tetapi, dewasa ini seni
barong sudah menjadi pertunjukan yang bersifat hiburan sehingga bisa dipentaskan
pada saat pesta perkawinan, khitanan, atau pergelaran-pergelaran seni lainnya.
Kesenian ini merupakan seni rakyat yang secara khusus mengandung ciri

khas Using, baik yang menyangkut musik, tari, dialog, maupun ceritanya. Di
Kabupaten Banyuwangi yang masih mempertahankan orisinilitas kesenian barong
kurang lebih berjumlah empat kelompok, yaitu kelompok Seni Barong Kemiren,

Mandalikan, Mangli, dan Jambersari. Akan tetapi, dari keempat kelompok itu hanya
kelompok seni barong Kemiren saja yang masih utuh “keUsingannya” dan sering
melakukan pementasan.
Seni Barong di desa Kemiren diciptakan oleh Eyang Buyut Tompo pada
sekitar 1830-an. Pada saat itu di desa Kemiren ada pertunjukan Seblang yang
dimainkan Embah Sapua. Ketika penari seblang kesurupan, terjadilah dialog dengan

Eyang Buyut Tompo agar pementasan seblang dipindah ke desa Ole-Olean
(Olehsari), sedangkan di desa Kemiren dipentaskan seni barong. Sejak saat itu ada
ketentuan yang harus dipegang teguh oleh masyarakat, yakni masyarakat desa

Olehsari tidak boleh mementaskan barong. Seni Barong yang diciptakan Buyut
Tompo ini didasari oleh leluhur masyarakat Kemiren, Eyang Buyut Cili, yakni tokoh
yang dimitoskan dan dianggap sebagai danyang atau penjaga desa Kemiren. Oleh
karenanya setiap pementasan, yakni tatkala barong mengalami kesurupan yang
masuk adalah Buyut Cili.


Tari Hadrah Kuntulan

Kesenian hadrah kuntulan lahir tidak terlepas dari sejarah perkembangan
Islam di Banyuwangi. Sebelumnya, hadrah kuntulan ini bernama seni hadrah
barjanji. Menurut beberapa seniman kuntulan berasal dari kuntul, nama sejenis
unggas berbulu putih, yang selanjutnya warna putih ini dijadikan sebagai warna

busana yang dipakai para pemainnya. Sementara itu, beberapa seniman yang lainnya
seperti Hasan Singodimayan, Andang CJ, dan Sudibjo Aries berpendapat bahwa
nama kuntulan secara etimologis berasal dari kata arab kuntubil yang artinya
terselenggara pada malam hari. Kata tersebut berkaitan dengan aktifitas santri setelah

belajar mengaji, yaitu untuk melepaskan rasa jenuh pada malam hari mereka
mengadakan kegiatan dengan melontarkan pujian-pujian yang berbentuk syair
barjanji dengan diiringi rebana disertai gerakan-gerakan yang monoton.

Pementasan seni hadrah kuntulan berupa tarian rodat (penari laki-laki) yang
diiringi dengan rebana ditingkahi vokal barjanjen atau asrokal. Pada awal
kelahirannya, di saat pementasan semua penarinya adalah laki-laki karena
masyarakat menganggap tabu dan melanggar ajaran agama Islam jika tarian tersebut

diperagakan oleh perempuan. Gerakan yang digunakan juga sangat sederhana, yaitu
gerakan yang menggambarkan orang shalat, wudu’ dan adzan. Dalam perkembangan
selanjutnya, seni hadrah kuntulan mengalami berbagai pernyempurnaan, baik dalam
instrumen musik, tarian, busana, maupun penampilan wanita dalam pementasan.

Tari Padhang Ulan

Masyarakat Banyuwangi mempunyai sifat ceria, baik dalam permainan
maupun dalam kesenian. Ketika bulan purnama (padhang ulan) antara tanggal 13–17
bulan Jawa, kaum muda mengadakan permainan di perkampungan-perkampungan
maupun di pantai, baik secara berkelompok maupun berpasangan. Pada saat seperti
5

ini dimanfaatkan untuk bersenang-senang saja atau untuk mencari jodoh. Situasi
seperti inilah yang akhirnya memberikan inspirasi kepada para seniman Banyuwangi
untuk menciptakan lagu-lagu, gending, dan tari padhang ulan (terang bulan). Sesuai
dengan situasi yang melatarbelakanginya, maka tari padhang ulang mempunyai ciri
khas lincah, gembira, dan agak erotis.

Tari Sabuk Mangir

Tari sabuk mangir memiliki latar belakang yang bersifat magis. Istilah sabuk
mangir merupakan perpaduan dari dua kata, yaitu sabuk berarti ikat pinggang dan
mangir nama sebuah desa di Rogojampi. Sabuk mangir terkenal sebagai sabuk sakti
orang Mangir. Berdasarkan kepercayaan bahwa ada kekuatan gaib yang berada
dalam sabuk tersebut, orang Mangir berusaha melawan musuh-musuhnya, baik yang
musuh yang fisik maupun non-fisik.


Tari Puputan Bayu

Latar belakang tarian ini adalah sebuah ceritera perjuangan seorang wanita
bernama Sayuwiwit yang berperang melawan Belanda (VOC). Sayuwiwit
mengorganisir para pemudi di zamannya dalam sebuah pasukan wanita yang
disegani kawan maupun lawan. Pasukan wanita yang dipimpin oleh srikandi

Sayuwiwit ini yang melakukan perlawanan terhadap VOC dengan perang puputan.
Perang puputan adalah perang habis-habisan yang menimbulkan banyak korban, baik
di pihak lawan maupun di pihak Sayuwiwit. Perang puputan di desa Bayu inilah
yang menjadi inspirasi terciptanya tari puputan bayu.

Tari Pupus Widuri

Pupus widuri terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Using, yaitu
pupus yang berarti daun muda dan widuri adalah nama sejenis makhluk cantik atau
bidadari. Jadi, makna kata pupus widuri adalah gadis muda yang sangat cantik
seperti bidadari. Oleh karena itu, tarian ini dilakukan oleh seorang gadis yang baru

menanjak remaja. Tari pupus widuri merupakan gabungan dari beberapa gerak tari
tradisional Banyuwangi, seperti tari seblang, tari gandrung, tari gridhoan, dan tari
sedemikian rupa sehingga menjadi suatu gerak yang harmonis dan bisa membuat
penonton terpesona, baik oleh gerakan maupun kecantikan penarinya.

Tari Keter Wadon

Keter wadon adalah sebuah tari yang diilhami oleh kegiatan burung-burung
pipit yang lincah, bebas berkeliaran di udara, mencari makan di mana-mana tanpa
ada yang menghalangi, kecuali si anak nakal. Mereka beterbangan di udara, hinggap
di atas pohon, bermain di telaga bening, berjemur di panas matahari sambil

bercengkerama. Namun, malang karena seekor dari mereka jatuh dipanah, disumpit
atau ditembak oleh seseorang yang jahil sehingga ia ditinggal pergi oleh temantemannya
yang lari ketakutan dan mencari dunia yang lebih bebas dan aman.

Walang Kadung

Tari walang kadung adalah salah satu seni tradisional daerah Banyuwangi
yang penciptaannya berdasarkan pengalaman atau pengamatan terhadap kehidupan
walang kadung di pohon-pohon atau dedaunan. Walang kadung merupakan jenis

serangga yang biasa hidup di daun-daun muda pohon jambu kluthuk (jambu batu).
Jika diperhatikan, gerakan binatang ini sangat menarik, terutama pada kaki
depannya, kaki belakang yang panjang tidak pernah diam, kepalanya yang tidak
pernah tunduk, serta matanya yang selalu terbelalak.

Tari Jaranan Buto

Kesenian jaranan buto berasal dari desa Cemetuk Kecamatan Cluring,
Kabupaten Banyuwangi. Istilah jaranan buto mengadopsi nama tokoh legendaris
Minakjinggo (terdapat anggapan bahwa Minakjinggo itu bukan berkepala manusia,
melainkan berkepala raksasa). Instrumen musik jaranan buta terdiri atas seperangkat

gamelan yang terdiri dari 2 bongan (musik perkusi), 2 gong (besar dan kecil) atau
kencur, sompret (seruling), kecer (instrumen musik berbentuk seperti penutup gelas
yang terbuat dari lempengan tembaga), dan 2 kendang. Sebagai isntrumen
peraganya/utamanya adalah replika (penampang samping) kuda raksasa yang terbuat
dari anyaman bambu. Wajah raksasa didominasi warna merah menyala, dengan

kedua matanya yang besar sedang melotot. Dalam pementasannya masih dilengkapi
dengan tiga jenis topeng buto (raksasa), celengan (#### hutan) dan kucingan (kucing)
yang kesemuanya terbuat dari kulit. Topeng-topeng ini ini harus digunakan secara
bergantian oleh para pemainnya, baik pemain laki-laki maupun pemain perempuan.

Tari Campursari

Kesenian campursari disebut juga mocoan pacul gowang (seni baca naskah),
yang merupakan lahirnya seni pertunjukan yang kemudian dinamai seni campurcari.
Pementasan diawali dengan mocoan pacul gowang berupa pembacaan naskah lontar
berbahasa Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan yang berisi riwayat Nabi Yusuf.

Pembacaan naksah lontar ini dilakukan secara ritmis, dan tunduk terhadap aturan
panjang pendek vokal (guru lagu), pupuh atau bait nama tembang (syair) yang
dilagukan. Pada umumnya pupuh yang digunakan adalah pupuh macapat yang
berasal dari tradisi Jawa, seperti Dandanggula, Kinanti, Pucung, Sinom, dan

Asmaradana. Seusai pembacaan naskah lontar, acara dilanjutkan dengan atraksi
penampilan jenis kesenian lain seperti, kuntulan, janger, gandrung, rengganis,
jinggoan, tarian daerah, kendang kempul, lawak, dan dangdutan. Satu genre
kesenian yang tidak masuk dalam paket campur sari adalah barongan.

Source : GOOGLE.COM

Artikel Terkait

This Is The Newest Post