Sebagian dari kita tentu tahu kisah berjenis Panji berjudul
Damarwulan-Minakjinggo. Kisah yang dianggap legenda ini begitu popular
di Jawa Timur karena mengungkapkan perseteruan antardua kerajaan, yang
satu sebuah kerajaan besar bernama Majapahit, yang satu lagi kerajaan
yang tak pernah tunduk terhadap hegemoni kerajaan besar itu, yakni
Kerajaan Blambangan. Perseteruan ini melahirkan Perang Paregreg.
Kerajaan Blambangan terletak di timur Kota Banyuwangi di Jawa Timur.
Bila kita melihat peta, letak Blambangan berbatasan langsung dengan
Selat Bali, dengan begitu kita yakin bahwa kerajaan ini merupakan
kerajaan pesisir. Bila melihat namanya, Blambangan berasal dari kata
bala yang artinya “rakyat” dan ombo yang artinya “besar” atau “banyak”.
Dengan begtu, kita dapat pahami bahwa Blambangan adalah “kerajaan yang
rakyatnya cukup banyak”.
Tak ada berita yang pasti sejak kapan kerajaan ini berdiri. Dari kisah
Damarwulan-Minakjinggo diketahui bahwa pada masa Majapahit kerajaan ini
telah ada dan berdaulat. Namun demikian, ada beberapa sumber yang memuat
nama Blambangan, yakni Serat Kanda (ditulis abad ke-18), Serat
Damarwulan (ditulis pada 1815), dan Serat Raja Blambangan (ditulis
1774), di mana proses penulisannya dilakukan jauh setelah masa kejayaan
Blambangan,
yakni ketika masa Mataram-Islam dan kekuasaan Kompeni
Belanda di Jawa tengah relatif kukuh. Di samping mengacu kepada sumber
berjenis sekunder seperti ketiga serat tadi, kita masih memiliki sumber
primer yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Blambangan, yakni
Pararaton, yang meski tak menyebutkan nama Blambangan namun kemunculan
nama Arya Wiraraja dan Lamajang akan membantu kita menyibakkan kabut
yang menyelimuti sejarah awal Kerajaan Blambangan.
Istana Timur Majapahit
Untuk melacak sejarah kemunculan Kerajaan Blambangan diakui cukup sulit.
Minimnya data dan fakta membuat para ilmuwan kesukaran untuk menentukan
sejarah awal kerajaan ini. Namun, bila kita memetakan sejarah awal
Majapahit pada masa Sri Nata Sanggramawijaya alias Raden Wijaya, maka
sedikit celah akan terkuak bagi kita guna menuju pencarian awal mula
Blambangan.
Pelacakan ini bisa dimulai dari peristiwa larinya Sanggramawijaya (R.
Wijaya) dan kawan-kawan ke Songeneb (kini Sumenep) di Madura guna
meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam usaha menjatuhkan Jayakatwang
yang telah menggulingkan Kertanagara di Singasari. Menurut Pararaton,
Raden Wijaya berjanji, bahwa jika Jayakatwang berhasil dijatuhkan, kelak
kekuasaannya akan dibagi dua, satu untuk dirinya, satu lagi untuk Arya
Wiraraja. Arya Wiraraja ini ketika muda merupakan pejabat di Singasari,
yang telah dikenal baik oleh Raden Wijaya yang tak lain menantu dan
keponakan Kertanagara.
Ketika Raden Wijaya berhasil mendirikan Majapahit tahun 1293, Arya
Wiraraja diberi jabatan sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri
Arya Wiraraja Makapramuka. Namun, rupanya Wiraraja pada tahun 1296 sudah
tidak menjabat lagi, hal ini sesuai dengan isi Prasasti Penanggungan
yang tak mencatat namanya. Muljana menjelaskan bahwa penyebab
menghilangnya nama
Wiraraja dari jajaran pemerintahan Majapahi karena
pada 1395, salah satu putranya bernama Ranggalawe memberontak terhadap
Kerajaan lalu tewas. Peristiwa ini membuat Wiraraja sakit hati dan
mengundurkan diri, seraya menuntut janji kepada Raden Wijaya mengenai
wilayah yang dulu pernah dijanjikan. Pada 1294, raja pertama Majapahit
itu mengabulkan janjinya dengan memberi Wiraraja wilayah Majapahit
sebelah timur yang beribukota di Lamajang (kini Lumajang).
Babad Raja Blambangan memberi tahu kita bahwa wilayah Lumajang yang
diberikan pada Arya Wiraraja adalag berupa hutan, termasuk Gunung Brahma
(kini Gunung Bromo) hingga tepi timur Jawi Wetan (Jawa Timur), bahkan
hingga Selat Bali (”Wit prekawit tanah Lumajang seanteron ipun
kedadosaken tanah Blambangan”). Menurut teks Babad Raja Blambangan, Arya
Wiraraja
memerintah di Blambangan sejak 1294 hingga 1301. Ia digantikan
putranya, Arya Nambi, dari 1301 sampai 1331. Setelah Nambi terbunuh
karena intrik politik pada 1331, takhta Kerajaan Blambangan kosong
hingga 1352. Yang mengisi kekosongan ini adalah Sira Dalem Sri Bhima
Chili Kapakisan, saudara tertua Dalem Sri Bhima Cakti di Pasuruan, Dalem
Sri Kapakisan di Sumbawa, dan Dalem Sri Kresna Kapakisan di Bali.
Kesaksian Babad Raja Blambangan berkesesuaian dengan apa yang tertulis
pada Pararaton. Dikisahkan, pada 1316 Nambi, seorang pengikut setia
Raden Wijaya sekaligus Patih Amamangkubhumi Majapahit yang pertama,
memberontak pada masa pemerintahan Jayanagara, seperti yang dijelaskan
Pararaton. Riwayat lain, yakni Kidung Sorandaka, menceritakan
pemberontakan Nambi terjadi setelah kematian ayahnya yang bernama
Pranaraja (sementara Kidung
Harsawijaya menyebut ayah Nambi adalah
Wiraraja). Pararaton mengisahkan, Nambi tewas dalam benteng
pertahanannya di Desa Rabut Buhayabang, setelah dikeroyok oleh Jabung
Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sebelumnya, benteng
pertahanan di Gending dan Pejarakan yang dibangun Nambi, dapat
dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga tewas
dalam peperangan itu. Menurut Nagarakretagama, yang memimpin penumpasan
Nambi adalah Jayanagara sendiri.
Dalam peristiwa ini, jelas Nambi berada
di Lamajang dan dibantu oleh pasukan Majapahit Timur, wilayah yang
menjadi kekuasaan Wiraraja. Namun belum jelas, apakah Wiraraja masih
hidup saat peristiwa Nambi berlangsung.
Pemaparan di atas, dalam upaya menjelaskan keberadaan Blambangan, tentu
belum dirasakan memuaskan, karena walau bagaimana pun, semua data di
atas tak menyebutkan nama Blambangan. Untuk itu, kita langkahkan lagi
penelesuran kita ke masa yang lebih kemudian, yakni masa Perang
Paregreg, peperangan antara “Keraton Barat” versus “Keraton Timur” di
wilayah Majapahit.
“Kedaton Wetan” dan Perang Paregreg 1406 M
Bila merujuk ke Pararaton, kita akan mengetahui bahwa ayah angkat
sekaligus kakek dari istri Bhre Wirabhumi, yakni Bhre Wengker yang
bernama Wijayarajasa (suami Rajadewi), mendirikan keraton baru di
Pamotan dan bergelar Bhatara Parameswara ring Pamotan. Bhatara
Parameswara ini juga adalah mertua Hayam Wuruk karena putrinya yang
bernama Paduka Sori meikah dengan raja ini. Setelah Bhatara Parameswara
wafat tahun 1398 M, keraton di Pamotan diserahkan kepada Bhre Wirabhumi.
Bila menghubungkan berita Pararaton dengan berita pada Sejarah Dinasti
Ming, kita bisa melihat adanya kesesuaian. Kronik Cini memberitakan
bahwa pada 1403 M di Jawa terdapat “Kerajaan Barat” dan “Kerajaan Timur”
yang tengah berseteru. Diberitakan bahwa pada tahun itu Bhre Wirabhumi,
penguasa Kerajaan Timur, mengirim utusan kepada Cina guna mendapatkan
pengakuan
Kaisar Cina. Hal ini membuat Wikramawardhana, penguasa
Kerajaan Barat, marah dan segera ia membatalkan masa kependetaannya yang
telah dimulai sejak 1400. Selama itu yang menjalankan roda pemerintahan
adalah istrinya, Kusumawardhani. Dengan begitu jelas, bahwa penguasa
“Kerajaan Timur” yang diperikan oleh Sejarah Dinasti Ming ini mengacu
pada penguasa di Pamotan,
yakni Bhre Wirabhumi. Namun kemudian, muncul
masalah baru: apakah istilah Kerajaan Timur pada masa Bhre Wirabhumi
sama dengan istilah “Istana Timur” pada masa Arya Wiraraja?
Pada 1403 Kaisar Yung Lo di Cina mengirim utusan ke Jawa guna
memberitahukan bahwa dirinyalah yang menjadi Kaisar Cina. Hubungan
Cina-Jawa makin mesra ketika Wikramawardhana menerima stempel perak
berlapis emas dari Kaisar Yung Lo. Sebagai terima kasih, Wikramawardhana
mengirim utusannya ke Cina dengan membawa upeti.
Rupanya kiriman
stempel perak-emas itu membangkitkan keinginan Bhre Wirabhumi untuk
mengirimkan upeti ke Cina. Pengirim utusan oleh Wirabhumi ini memiliki
maksud yang lebih khusus: meminta pengakuan dari Kaisar Cina. Pengesahan
resmi dari Kaisar Cina terhadap Bhre Wirabhumi di Kerajaan Timur
membuat geram
Wikramawardhana yang tengah bertapa. Ketika mendengar Bhre
Wirabhumi diakui oleh Kaisar Cina, pada 1403 Wikramawardhana kembali
mengemban pemerintahan. Tiga tahun berikutnya, 1406, baik Kerajaan Barat
maupun Kerajaan Timur sama-sama meminta dukungan kepada kerabat istana
Majapahit lain untuk mendukung mereka.
Pararaton mencatat, Perang Paregreg (“perang yang berangsur-angsur”)
antara Wikramawardhana-Bhre Wirabhumi terjadi pada tahun Saka
naga-loro-anahut-wulan atau 1328 Saka (1406). Setelah Wikramawardhana
berhasil mengalahkan Kerajaan Timur, Bhre Wirabhumi melarikan diri saat
malam dengan menumpang perahu. Namun ia berhasil dikejar oleh Bhra
Narapati Raden Gajah, kepalanya dipancung lalu dibawa ke Majapahit untuk
dipersembahkan kepada Bhra Hyang Wisesa. Kepala Bhre Wirabhumi kemudian
ditanam di Desa Lung. Candinya dibangun pada tahun itu juga (1406),
bernama Grisapura.
Perang ini berawal dari ketidaksetujuan Bhre Wirabhumi, anak Sri
Rajasanagara atau Hayam Wuruk dari selir, atas penunjukan Suhita, putri
pasangan Kusumawardhani (putri Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana,
menjadi penguasa Majapahit. Sebelumnya, pada 1389 Wikramawardhana,
menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk, dinobatkan menjadi raja, lalu
setelah 12 tahun memerintah, Wikramawardhana turun takhta dan menjadi
pendeta. Penunjukan Suhita oleh
Wikramawardhana tidak disetujui Bhre
Wirabhūmi. Wirabhumi, walau sebatas anak dari seorang selir, merasa
lebih berhak atas takhta Majapahit karena ialah satu-satunya anak lelaki
dari Hayam Wuruk. Ia melihat bahwa Suhita kurang berhak atas takhta
tersebut karena hanya seorang wanita dari seorang putri Hayam Wuruk,
yakni Kusumawardhani. Bhre Wirabhumi sendiri, menurut
Nagarakretagama,
menikah dengan Nagarawardhani, sedangkan menurut Pararaton ia menikah
dengan Bhre Lasem yakni Sang Alemu alias Indudewi, kemenakan Hayam Wuruk
sekaligus anak dari Rajadewi (Rajasaduhitendudewi). Rajadewi dalam
Nagarakretagama, yang identik dengan Bhre Daha menurut Pararaton, ini
adalah bibi Hayam Wuruk.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Bhre Daha, ibu angkat Bhre Wirabhumi yakni
Rajasaduhitendudewi, diboyong oleh Hyang Wisesa ke Kedaton Kulon,
Majapahit. Siapa orang yang menggantikan Bhre Wirabhumi menjadi penguasa
Daha, tidak diketahui. Pararaton hanya menceritakan bahwa pada 1359
Saka (1437 M), yang menjadi penguasa Daha adalah Jayawardhani Dyah
Jayeswari, putri bungsu Bhre Pandan Salas.
Setelah Perang Paregreg, takhta Majapahit masih dipegang oleh
Wikramawardhana hingga 11 tahun kemudian. Pada 1349 Saka (1427 M)
Wikramawardhana wafat, takhta Majapahit lalu diserahkan kepada Suhita.
Setelah Bhre Wirabhumi tewas, Kerajaan Timur bersatu dengan Kerajaan
Barat. Namun, di laih pihak banyak daerah bawahan di luar Jawa yang
melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Dari uraian di atas, sama, bahwa sumber-sumber tertulis yang lebih tua,
yakni Nagarakretagama pada abad ke-14 tidak mencantumkan nama
“Blambangan” untuk wilayah yang dikuasai Arya Wirajaja; pun Pararaton
yang ditulis sekitar abad ke-15 dan 16 tidak menyebutkan nama itu,
melainkan “Istana Timur” untuk wilaya yang dikuasai oleh Bhre Wirabhumi.
Istilah “Blambangan” sebagai sebuah kerajaan baru muncul pada abad-abad
selanjutnya, yakni abad ke-18 pada masa Mataram-Islam, dua abad setelah
era Paregreg. Namun ada pengecualian, naskah Bujangga Manik yang
ditulis sekitar akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 menyebutkan nama
tempat “Balungbungan” yang terletak di ujung timur Jawa Timur sebagai
tempat ziarah kaum Hindu (hal ini akan dibahas pada uraian selanjutnya).
Panarukan, Pelarian Dyah Ranawijaya Raja Kediri
Namun, sebelum putus asa, ada data menarik yang akan membimbing kita
menelusuri kabut sejarah kerajaan ini. Data itu menguraikan sebuah
peristiwa yang terjadi pada akhir abad ke-16, setengah abad setelah masa
Paregreg, yakni penyerangan pasukan Demak ke Daha, ibukota Kediri. Saat
itu, Kediri merupakan kerajaan utama setelah berhasil menyerang
Majapahit.
Muljana (1986: 300) menuturkan, pasukan Demak yang Islam menyerang Tuban
pada 1527; setelah Tuban, laskar Demak menyerang Daha, ibukota Kediri
pada tahun itu juga. Raja Kediri, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya
(diidentifikasikan sama dengan tokoh Bhatara Wijaya atau Brawijaya dalam
serat) melarikan diri ke Panarukan, sementara Kediri jatuh ke tangan
Demak. Dyah Ranawijaya sendiri sebelumnya pernah mengalahkan Bhre
Kertabhumi Raja Majapahit pada 1478. Penyerangan itu dalam rangka balas
dendamnya, karena ayahnya, Suraprabhawa Sang
Singawikramawardhana yang
duduk di keraton Majapahit diserang oleh Bhre Kretabhumi, sehingga
menyebabkan Suraprabhawa mengungsi ke Daha, Kediri. Pendapat ini
didukung oleh Prasasti Petak yang menyebutkan, keluarga Girindrawardhana
pernah berperang melawan Majapahit lebih dari satu kali.
Berita dari Serta Kanda yang menyebutkan bahwa Dyah Ranawijaya, setelah
Daha jatuh ke pasukan Demak, melarikan diri ke Bali, menurut Muljana,
tak dapat dibuktikan oleh data sejarah yang lebih sahih. Sebaliknya,
Dyah Ranawija melarikan diri ke Panarukan (kini nama kecamatan di Kab.
Situbondo, Jawa Timur, utara Banyuwangi). Panarukan sendiri ketika itu
merupakan sebuah
pelabuhan yang cukup ramai dan sejak abad ke-14 telah
menjadi salah satu pangkalan kapal terpenting bagi Majapahit. Dengan
tibanya Ranawijaya ke kota pelabuhan ini, Kerajaan Panarukan ini bisa
dianggap sebagai kelanjutan Kediri. Dan berdasarkan penuturan orang
Belanda kemudian, kerajaan Panarukan ini dapat diidentifikasi sebagai
Kerajaan Blambangan.
Hal ini sesuai berita Portugis yang menyebutkan adanya utusan Kerajaan
Hindu di Panarukan ke Malaka pada 1528—setahun setelah Dyah Ranawijaya
diserang Demak. Utusan dari Panarukan ini bermaksud mendapatkan dukungan
orang-orang Portugis, yang tentunya bermaksud menghadang pengaruh Islam
di Jawa. Bukti lain bahwa Panarukan adalah (bagian dari) Blambangan
adalah peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana raja ke-3 Demak pada 1546.
Hanya saja, belum ada kepastian, sejak kapan pusat pemerintahan
Blambangan pindah dari Panarukan ke wilayah yang lebih timur.
Pada saat Kerajaan Demak memperlebar wilayah kekuasaannya di bawah
kepemimpinan Sultan Trenggana, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil
dikuasainya. Pasuruan ditaklukan pada 1545 dan sejak saat itu menjadi
kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa. Akan tetapi, usaha
Demak menaklukkan Panarukan/Blambangan mengalami kendala karena kerajaan
ini menolak Islam.
Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh
di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tak mampu menembus kota
Panarukan. Barulah ketika Pasuruan berhasil dikuasai Demak, posisi
Blambangan makin terdesak. Pada 1601 ibukota Blambangan dapat direbut
oleh pasukan Pasuruan yang dibantu Demak. Setelah dikalahkan oleh
aliansi Demak-Pasuruan, Kerajaan Blambangan mulai dimasuki budaya dan
ajaran Islam. Pusat pemerintahan pun bergeser ke selatan, ke daerah
Muncar.
Pada masa Kesultanan Mataram, penguasa Blambangan kembali menyatakan
diri sebagai wilayah yang merdeka. Usaha para penguasa Mataram dalam
menundukkan Blambangan mengalami
kegagalan. Hal ini mengakibatkan
kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke
dalam budaya Jawa Tengahan. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan
Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa
baku. Pengaruh Bali-lah yang lebih menonjol pada berbagai bentuk
kesenian dari wilayah Blambangan.
Dari uraian di atas terkesan bahwa cikal bakal Blambangan terdapat di
Panarukan, jadi bukan berasal dari “Istana Timur” di Lumajang
peninggalan Arya Wiraraja atau istana pada masa Perang Paregreg. Namun
demikian, diperlukan sejumlah pertimbangan lain untuk memutuskan apakah
tepat bila kita menyebutkan bahwa Panarukan merupakan awal mula Kerajaan
Blambangan. Hal ini akan lebih terkuak pada uraian-uraian di bawah ini.
Pangeran Tampauna (Pangeran Kedhawung) dan Tawang Alun (Sinuhun Macan Putih)
Pada abad ke-16, Blambangan berada dalam kekuasaan Bali. Kerajaan Gelgel
di Bali yang dirajai Dalem Waturengong (1460-1550) mampu memperluas
wilayahnya hingga ke bagian timur Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa.
Setelah Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yakni Dalem di Made,
satu persatu wilayah kekuasaan Gelgel melepaskan diri, di antaranya
Blambangan dan Bima (tahun 1633) dan Lombok (tahun 1640). Pada 1651,
muncul pemberontakan Gusti Agung Maruti atas Gelgel. Ketika Dewa Agung
Jambe menggantikan Dalem Di Made, kembali Gelgel merebut wilayahnya yang
terlepas pada 1686. Raja ini lalu memindahkan pusat kerajaan ke
Samarapura di Klungkung.
Pada abad ke-17, Blambangan sendiri dipimpin oleh Santaguna. Setelah
Blambangan ditaklukkan pada 1636 oleh Sultan Agung Mataram, Santaguna
digantikan oleh Raden Mas Kembar alias Tampauna pada 1637. Ketika itu,
ibukota masih di Lumajang. Pada 1639, raja ini memindahkan keraton ke
Kedhawung, sekitar Panarukan, Situbondo, sehingga bergelar Pangeran
Kedhawung. Kalimat ini menjelaskan bahwa cikal bakal Blambangan adalah
Lumajang—dan untuk ini kita bisa menarik garis ke masa Arya Wiraraja.
Pada masa Mas Tampauna ini, Blambangan selalu menjadi rebutan antara
Bali dan Mataram. Perebutan pengaruh antardua kerajaan itu berakhir
setelah kedua penguasa kerajaan itu wafat, Sultan Agung pada 1646 dan
Dewa Agung pada 1651. Pada 1649, setelah berusia sepuh, Mas Tampauna
bertapa di hutan Kedhawung menjadi begawan.
Setelah Mas Tampauna menjad begawan, pemerintahan digantikan oleh
putranya yakni Tawang Alun pada 1652. Menurut cerita, raja ini melakukan
semedhi dan memunyai gelar baru, Begawan Bayu. Di tempat bertapanya, ia
mendapat petunjuk untuk berjalan “ngalor wetan” bila ada “macan putih”.
Ia pun harus duduk di atas macan putih dan mengikuti perjalanan macan
putih tersebut menuju hutan Sudhimara (Sudhimoro).
Tawang Alun lalu
mengelilingi hutan seluas 4 km2. Tempat itulah yang selanjutnya
dijadikan pusat pemerintahan dan diberi nama keraton Macan Putih (tahun
1655).
Ketika di bawah kepemimpinan Raja Tawang Alun atau Sinuhun Macan Putih,
Blambangan berusaha melepaskan diri dari Mataram. Tulisan Raffles (2008:
511) menerangkan bahwa pada 1659 M atau 1585 Saka,
raja Blambangan yang
baru dilantik (tidak disebut namanya), dengan dibantu angkatan perang
dari Bali, kembali melakukan pemberontakan. Susuhunan Amangkurat I
(Sunan Tegal Arum), pengganti Sultan Agung dari Mataram, lalu
mengirimkan pasukannya untuk mengatasi pemberontakan laskar
Blambangan-Bali ini dan berhasli menguasai ibukota Blambangan.
Diberitakan, raja Blambangan—yang dipastikan adalah Tawang Alun—dan para
pengikutnya melarikan diri ke Bali. Sementara itu, pasukan Mataram
pimpinan Tumenggung Wiraguna terserang wabah penyakit yang memaksa
dirinya menarik pasukannya kembali.
Mendengar itu, Amangkurat memutuskan
untuk menghukum sang tumenggung dengan alasan hendak memberontak.
Pada masa, Tawang Alun memerintah, wilayah kekuasaan Blambangan meliputi
Jember, Lumajang, Situbondo. Dikisahkan bahwa Raja Tawang Alun
berwawasan terbuka, karena meski merupakan penganut Hindu yang taat,
raja ini tidak melarang komunitas Islam berkembang. Yang menjadi
fokusnya dalah bagaimana caranya melawan arus dominasi asing.
Sebelum memindahkan ibukota ke Macan Putih, Tawang Alun sempat
mendirikan ibukota di wilayah Rowo Bayu (kini termasuk Kec. Songgon,
Banyuwangi)—jauh sebelum Mas Rempeg Jagapati menetap di Rowo Bayu.
Kepindahan ini diakibatkan serangan adik Tawang Alun sendiri,
yakni Mas
Wila, yang memberontak. Menurut cerita penduduk setempat, tawang Alun
mendirikan sebuah tempat bertapa di Rowo Bayu ini.
EmoticonEmoticon